ORANG YANG DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid bin Syamhudi
Ustadz Abu Asma Kholid bin Syamhudi
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jum’at wajib bagi setiap muslim dalam jama’ah, kecuali empat, (yaitu) hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit.
(Foto : sajadahmuslimku.blogspot.com)
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitab Ash Shalat, Bab Al Jum’at Lil Mamluk Wal Mar’ah, no. 1067, hlm. 1/280 [1], dan berkata setelah menyampaikan hadits ini,”Thariq bin Syihab melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak mendengar satupun haditsnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitab Ash Shalat, Bab Al Jum’at Lil Mamluk Wal Mar’ah, no. 1067, hlm. 1/280 [1], dan berkata setelah menyampaikan hadits ini,”Thariq bin Syihab melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak mendengar satupun haditsnya.”
Imam Nawawi mengomentari hadits Thariq bin Syihab ini dengan perkataannya,”Pernyataan Abu Dawud ini tidak merusak keabsahan hadits; karena jika benar ia tidak mendengar satu haditspun dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka haditsnya adalah mursal shahabi, dan mursal shahabi (dapat menjadi) hujjah menurut madzhab Syafi’i dan seluruh ulama, kecuali Abu Ishaq Al Isfirayini.” [2]
Syaikh Al Albani menukilkan pernyataan Imam Nawawi dari Imam Az Zaila’i di dalam Nashbu Ar Rayah, 2/199, berbunyi: Imam Nawawi berkata dalam Al Khulashah,”Hal ini tidak merusak keabsahannya; karena ia termasuk mursal shahabi dan mursal shahabi hujjah. Sedangkan hadits ini shahih atas syarat Syaikhan (Al Bukhari dan Muslim)[3].” Kemudian Syaikh Al Albani berkomentar: “Seakan-akan karena inilah hadits ini dishahihkan banyak ulama, sebagaimana terdapat di dalam At Talkhish”[4]
Hadits ini juga diriwayatkan Ad Daraquthni dalam Sunan-nya, no. 164 dan Al Baihaqi dalam dua pembahasan; Bab : Man Tajibu ‘Alaihi Al Jum’at, 3/246, no. 5578, dan Bab : Man La Talzamuhu Al Jum’at, 3/360, no.5630, ia dan berkata,”Hadits ini walaupun terdapat irsal [5], namun ia adalah mursal yang diterima, karena Thariq termasuk tabi’in pilihan dan orang yang melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak mendengar haditsnya. Dan hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat dari sahabat lainnya)[6]” Sedangkan Syaikh Al Albani menambahkan bahwa Al Maqdisi mengeluarkannya juga dalam Al Mukhtarah dari Ishaq bin Manshur secara mursal.[7]
Imam Al Hakim di dalam Mustadrak, 1/288, juga meriwayatkan hadits ini dari jalur periwayatan Ubaid bin Muhammad Al ‘Ijli dari Al Abas bin Abdul ‘Adzim dengan sanadnya sampai kepada Thariq bin Syihab dari Abu Musa Al Asy’ari secara maushul (bersambung) sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,”Shahih sesuai syarat Syaikhan,” dan disepakati Imam Adz Dzahabi. Namun riwayat ini dinyatakan oleh Imam Al Baihaqi[8] dan Al Albani sebagai riwayat yang syadz, karena menyelisihi riwayat Abu Dawud yang mursal.[9]
Hadits Thariq bin Syihab ini memiliki syawahid (jalan periwayatan penguat dari sahabat lain), diantaranya:
1. Hadits Tamim Ad Dari, yang berbunyi:
الْجُمْعَةُ وَاجِبَةٌ إِلاَّ عَلَى امْرَأَةٍ أَوْ صَبِيٍّ أَوْ مَرِيْضٍ أَوْ عَبْدٍ أَوْ مُسَافِرٍ
“Shalat Jum’at wajib, kecuali atas wanita, anak-anak, orang sakit, budak atau musafir”.
Hadits ini diriwayatkan Al Baihaqi[10] dari riwayat Al Hakam bin Amru dari Dhirar bin Amru dari Abu Abdillah Asy Syami. Ketiganya perawi dha’if, sehingga Abu Zur’ah Ar Razi menyatakan: “Ini adalah hadits mungkar”.
2. Hadits Maula keluarga Az Zubair, yang berbunyi:
الْجُمْعَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ حَالِمٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٍ الصَبِيِّ وَ الْمَمْلُوْكِ وَ الْمَرْأَةِ وَ الْمَرِيْضِ
“Shalat Jum’at wajib atas setiap yang baligh, kecuali empat: anak-anak, budak, wanita dan orang sakit”.
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi[11] dan Ibnu Abi Syaibah[12] di dalam Mushannaf, dari Abu Hazim dari maula keluarga Az Zubair.
Syaikh Al Albani berkata,”Ini sanad yang shahih. Seluruh perawinya tsiqah (bisa dipercaya), kecuali maula keluarga Az Zubair, saya belum mengatahuinya. Jika ia seorang sahabat, maka ketidak jelasannya tidak berpengaruh, dan ini yang rajih. Karena perawi beliau adalah Abu Hazim Salman Al Asyja’i Al Kufi, seorang tabi’in. Namun apabila ia bukan seorang sahabat, maka sanadnya lemah karena kemajhulannya (ketidakjelasannya)”.[13]
3. Hadits Jabir bin Abdillah, yang berbunyi:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجمْعَةُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ إِلاَّ عَلَى مَرِيْضٍ أَوْ مُسَافِرٍ أَوْ صَبِيٍّ أَوْمَمْلُوْكٍ وَ مَنْ اسْتَغْنَى عَنْهَا بِلَهْوٍ أَوْ تِجَارَةٍ اسْتَغْنَى الله عَنْهُ وَ اللهُ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wajib atasnya shalat Jum’at pada hari Jum’at, kecuali atas orang sakit, musafir, anak-anak, dan budak. Barangsiapa yang tidak melakukannya dengan merasa cukup dengan kesia-siaan atau perdagangan, maka Allah merasa cukup darinya dan Allah Maha Kaya lagi Terpuji”
Hadits ini diriwayatakan oleh Al Baihaqi dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Mu’adz bin Muhammad Al Anshari dari Abu Az Zubair dari Jabir secara marfu’. Demikian juga Ad Daruquthni[14] meriwayatkannya dari jalan tersebut. Ibnu Lahi’ah dan Muhammad Al Anshari lemah[15] ditambah adalah sanad ‘an’anah dari Abu Az Zubair seorang yang dikenal mudalis. Berkata Ibnu Asakir: “Hadits ini sangat gharib, tidak kami ketahui kecuali dari hadits Ibnu Lahi’ah dengan sanad ini, dan ia adalah lemah”.[16]
4. Hadits Abu Hurairah seperti hadits Jabir tanpa penyebutan orang yang sakit, namun juga hadits yang lemah, meskipun begitu Syaikh Al Albani berkata: “Sanadnya dapat dijadikan penguat, insya Allah”.[17]
5. Hadits Muhammad bin Ka’ab Al Quradzi secara mursal, namun sangat lemah.
Kesimpulannya : hadits ini shahih. Diantara ulama yang menshahihkannya, yaitu Imam Al Baihaqi [18], Imam An Nawawi[19], Al Hakim[20], Adz Dzahabi, Al Hafidz Ibnu Hajar, Syaikh Ubaidillah bin Muhammad Al Mubarakfuri[22] dan Syaikh Al Albani.[23]
SYARAH KOSA KATA DAN FAIDAH HADITS
1. الْجُمُعَةُ : Shalat Jum’at.
Kata Jum’at, dalam bahasa Arab boleh dibaca dengan tiga bacaan; dengan didhamahkan atau disukunkan atau difathahkan huruf mimnya. Dibaca الْجُمُعَةُ atau الْجُمْعَةُ atau الْجُمَعَةُ, demikian ini yang disampaikan Imam An Nawawi dalam Majmu’ Syarh Muhadzab.[24]
Kata Jum’at, dalam bahasa Arab boleh dibaca dengan tiga bacaan; dengan didhamahkan atau disukunkan atau difathahkan huruf mimnya. Dibaca الْجُمُعَةُ atau الْجُمْعَةُ atau الْجُمَعَةُ, demikian ini yang disampaikan Imam An Nawawi dalam Majmu’ Syarh Muhadzab.[24]
Dibaca dengan dhammah, menurut bahasa Ahli Hijaz. Dan dibaca dengan fathah, menurut bahasa Bani Tamim, dan dengan sukun, menurut bahasa Bani Uqail.
Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin menyatakan: الْجُمُعَةُ dibaca dengan didhammahkan huruf jim dan mim-nya berasal dari kata الْجمع . Dinamakan demikian karena Allah memadukan pada hari tersebut perkara kauniyah dan syar’iyah yang tidak dimiliki hari lainnya.
Pada hari itu disempurnakan penciptaan langit, bumi dan penciptaan Adam, serta pada hari tersebut terjadi hari kiamat dan kebangkitan. Juga ada shalat Jum’at dan manusia berkumpul padanya.[25]
الْجُمُعَةُ merupakan penamaan Islam. Dan pada zaman Jahiliyah dinamakan Al ‘Arubah, karena bangsa Arab Jahiliyah menamakan hari-hari dalam sepekan dimulai hari Ahad dengan nama Awal, Ahwan, Jubar, Dubar, Mu’nas, ‘Arubah dan Syibar [26]. Dan yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalat Jum’at.
2. حَقٌّ وَاجِبٌ : Pernyataan ini jelas menunjukkan kewajiban shalat Jum’at. Kewajiban shalat Jum’at telah ditetapkan berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ para ulama.[27]
3. عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ : Pernyataan ini menunjukkan kebenaran pendapat jumhur Ulama tentang hukum shalat Jum’at adalah fardu ‘ain, dan bantahan kepada orang yang berpendapat fardhu kifayah. Demikian juga menunjukkan tidak sah shalat Jum’at, kecuali dilakukan secara berjamaah; bahkan hal ini merupakan kesepakatan para ulama.
Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Adzim Abadi berkata,”Tidak sah (shalat Jum’at), kecuali dengan jama’ah tertentu (sebagaimana) menurut Ijma.” [28
4. إِلَّا أَرْبَعَةً : Menunjukkan orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at ada empat jenis, yaitu: wanita, anak-anak, hamba dan orang sakit.
5. عَبْدٌ مَمْلُوكٌ : Hamba sahaya.
Hadits ini jelas menunjukkan, tidak wajib bagi seorang hamba menghadiri shalat Jum’at, dan demikian ini pendapat jumhur Ulama. Sedangkan madzhab Dzahiriyah [29] dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyatakan, bahwa hamba sahaya diwajibkan shalat Jum’at [30], dengan alasan keumuman firman Allah Ta’ala:
Hadits ini jelas menunjukkan, tidak wajib bagi seorang hamba menghadiri shalat Jum’at, dan demikian ini pendapat jumhur Ulama. Sedangkan madzhab Dzahiriyah [29] dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyatakan, bahwa hamba sahaya diwajibkan shalat Jum’at [30], dengan alasan keumuman firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al Jum’ah:9), dan menyatakan hadits yang menjelaskan tidak wajibnya shalat Jum’at lemah (dha’if).
Diantara para ulama, ada yang memerinci dengan menyatakan bahwa jika diizinkan sayyidnya, maka wajib; dan bila tidak diizinkan, maka diperbolehkan untuk meninggalkan shalat Jum’at. Demikian pendapat Imam Ahmad yang diriwayatkan oleh Al Marwazi [31], dengan beralasan kepada keumuman ayat dan tidak ada udzur baginya karena telah mendapat izin dari pemiliknya. Pendapat ini dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan pernyataannya,”Ini pendapat tengah-tengah, karena demikianlah hakikat keadaan seorang budak. Jika seseorang membayangkan keadaan budak yang lemah, tidak mampu menyatakan, saya akan pergi Jum’at, wahai sayyidku; baik engkau ridha atau tidak. Sehingga membebaninya dengan sesuatu di luar kemampuannya adalah susah (haraj), padahal Allah meniadakan haraj dalam agama dari umat ini.”[32]
Namun yang rajih -wallahu a’lam- adalah pendapat jumhur, karena beberapa hal berikut ini:
Pertama : Keabsahan hadits, sebagaimana dikemukakan di atas.
Kedua : Hamba sahaya adalah manfaat yang tergantung pada sayyidnya (pemiliknya); sehingga bila diwajibkan, maka tentu diperbolehkan menghadiri Jum’at tanpa izin dari pemiliknya, dan pemiliknya tidak punya hak melarangnya, seperti pada kewajiban-kewajiban lainnya.
Ketiga : Keumuman ayat dikhususkan dengan udzur, dan ini termasuk udzur syar’i tersebut.
Kedua : Hamba sahaya adalah manfaat yang tergantung pada sayyidnya (pemiliknya); sehingga bila diwajibkan, maka tentu diperbolehkan menghadiri Jum’at tanpa izin dari pemiliknya, dan pemiliknya tidak punya hak melarangnya, seperti pada kewajiban-kewajiban lainnya.
Ketiga : Keumuman ayat dikhususkan dengan udzur, dan ini termasuk udzur syar’i tersebut.
6. امْرَأَةٌ : Bermakna kaum wanita.
Wanita tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at berdasarkan hadits Thariq bin Syihab ini dan berdasarkan Ijma’ para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khuzaimah dengan pernyataannya Bab yang menjelaskan tidak wajibnya shalat Jum’at bagi wanita, hadits ini (yaitu hadits Thariq bin Syihab, Pen.) adalah dalil yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan perintah menghadiri shalat Jum’at ketika ada panggilan adzan dengan firmannya :
Wanita tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at berdasarkan hadits Thariq bin Syihab ini dan berdasarkan Ijma’ para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khuzaimah dengan pernyataannya Bab yang menjelaskan tidak wajibnya shalat Jum’at bagi wanita, hadits ini (yaitu hadits Thariq bin Syihab, Pen.) adalah dalil yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan perintah menghadiri shalat Jum’at ketika ada panggilan adzan dengan firmannya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Al Jum’ah:9). kepada laki-laki saja, jika hadits tersebut shahih. Dan jika tidak shahih, maka kesepakatan para ulama tentang tidak wajibnya shalat Jum’at kepada wanita mencukupkan dari hadits yang khusus tentang hal itu.[33]
Demikian juga Ijma’ ini dinukil oleh Ibnu Al Mundzir dalam kitab Al Ijma’; Ibnu Qudamah [34], An Nawawi [35], Ibnu Rusyd [36] dan Al Bahuti.[36]
Dengan demikian, sungguh amat mengherankan sebagian orang pada masa sekarang ini yang mewajibkan shalat Jum’at bagi wanita, dengan hanya berpegang teguh kepada keumuman firman Allah dalam surat Jum’at tersebut. Bukankah sebaiknya mereka melihat pendapat para ulama tentang masalalah ini sebelum berfatwa?!
Namun bila menghadiri shalat Jum’at, maka shalatnya sah. Ibnu Qudamah berkata,”Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini,” kemudian ia menukilkan pernyataan Ibnu Al Mundzir “Yang kami ketahui, para ulama telah Ijma’, bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at pada wanita dan (telah) Ijma’, jika mereka menghadirinya dan shalat Jum’at, maka hal itu sah, karena tidak diwajibkan pada mereka untuk memberikan keringanan. Jika mereka mampu dan shalat, maka shalat mereka sah, seperti orang sakit.” Namun yang sesuai dengan Sunnah, hendaklah mereka shalat Dhuhur di rumahnya dan tidak shalat Jum’at di masjid. Bila shalat Jum’at dengan jama’ah, maka hendaklah menutupi auratnya dan tidak menggunakan wangi-wangian serta mendengarkan faidah dari khutbah Jum’at.[40]
7. صَبِيٌّ : anak-anak, dan termasuk dalam hal ini ialah orang gila dan hilang akal karena pingsan [41]. Sehingga tidak diwajibkan kepada anak-anak menghadiri shalat Jum’at berdasarkan dengan hadits Thariq di atas, dan hadits yang berbunyi:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ
“Tiga orang terlepas dari beban taklif: orang yang tidur sampai bangun, orang yang gila sampai sembuh dan anak kecil sampai besar” [42].
Ini merupakan Ijma’, sebagaimana disampaikan Syaikh Manshur Al Bahuti dalam pernyataannya: “Menurut Ijma, tidak wajib menghadiri shalat Jum’at bagi orang gila dan anak-anak”[43] Namun diperintahkan untuk hadir, jika telah berusia tujuh tahun dan dipukul bila telah berusia sepuluh tahun, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ُّ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun.[44]
8. مَرِيضٌ : Orang yang sakit.
Orang sakit tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at, jika kehadirannya membawa kesusahan atau menambah berat sakitnya [45], berdasarkan hadits Thariq di atas dan Ijma’ yang disampaikan Ibnu Rusyd dalam pernyataannya: “Telah sepakat (Ijma’) para ulama, tentang tidak diwajibkan shalat Jum’at kepada wanita, dan tidak pula kepada orang yang sakit”[46]. Demikian juga Ijma’ ini dinukil Ibnu Qudamah Al Maqdisi[47].
Orang sakit tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at, jika kehadirannya membawa kesusahan atau menambah berat sakitnya [45], berdasarkan hadits Thariq di atas dan Ijma’ yang disampaikan Ibnu Rusyd dalam pernyataannya: “Telah sepakat (Ijma’) para ulama, tentang tidak diwajibkan shalat Jum’at kepada wanita, dan tidak pula kepada orang yang sakit”[46]. Demikian juga Ijma’ ini dinukil Ibnu Qudamah Al Maqdisi[47].
KESIMPULAN
Dari pembahasan hadits di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama : Hadits Thariq bin Syihab adalah hadits yang shahih.
Kedua : Wanita, hamba sahaya, orang sakit dan anak-anak, tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at, dan diwajibkan pada mereka shalat Dhuhur, kecuali anak-anak yang belum baligh.
Ketiga : Apabila mereka menghadiri shalat Jum’at, maka shalatnya sah dan tidak mengulangi shalat Dhuhur lagi, karena shalat Jum’atnya telah sah.
Dari pembahasan hadits di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama : Hadits Thariq bin Syihab adalah hadits yang shahih.
Kedua : Wanita, hamba sahaya, orang sakit dan anak-anak, tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at, dan diwajibkan pada mereka shalat Dhuhur, kecuali anak-anak yang belum baligh.
Ketiga : Apabila mereka menghadiri shalat Jum’at, maka shalatnya sah dan tidak mengulangi shalat Dhuhur lagi, karena shalat Jum’atnya telah sah.
Demikian penjelasan singkat permasalahan orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at yang diambil dari hadits Thariq bin Syihab. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat dan nasihat kepada para pembaca dan kaum muslimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Sunan Abu Dawud, Tahqiq, Izat Ubaid Al Da’as dan ‘Udil As Sayid, Cetakan Pertama, Tahun 1394, Dar Al Hadits, Himsh, Suria.
[2]. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam Nawawi, Tahqiq, Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun 1425 H , Dar Ihya At Turats Al Islami, hlm. 4/349.
[3]. Irwa’ Al Ghalil, op.cit. hlm. 3/54.
[4]. Ibid 3/55, dan yang ia maksudkan ialah kitab Talkhish Al Habir Fi Takhrij Ahadits Ar Rafi’i Al Kabir, karya Ibnu Hajar Al ‘Asqalani. Lihat pernyataan Ibnu Hajar di dalam At Talkhish, Tahqiq, Abu ‘Ashim Hasan bin Abas bin Quthb, Cetakan Pertama, Tahun 1416, Muassasah Al Qurthubah dan Makbatabh Al Makiyah, Makkah , KSA. hlm. 2/130 no 651.
[5]. Irsal adalah istilah terputusnya sanad di akhirnya. Disini Thariq bin Syihab dinyatakan mengirsalkan hadits ini, karena ia tidak mendengarnya langsung dari Rasulullah. Oleh Ahli Hadits, demikian ini dinamakan dengan istilah mursal shahabi.
[6]. Lihat Sunan Al Kubra, karya Al Baihaqi, Tahqiq, Muhammad Abdulqadir ‘Atha, Cetakan Pertama, Tahun 1414 H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, Hlm. 3/361.
[7]. Irwa’ Al Ghalil Fi Takhrij Ahadits Manar As Sabil, karya Syaikh Al Albani, Cetakan Kedua, Tahun 1405 H, Al Maktab Al Islami, hlm. 3/55.
[8]. Lihat Sunan Al Kubra, op.cit. hlm. 3/361.
[9]. Syaikh Al Albani berkata,”Menurut saya, penyebutan Abu Musa dalam sanad tersebut adalah syadz atau mungkar; karena Ubaid bin Muhammad Al ‘Ijli telah menyelisihi Abu Dawud dengan penyebutan
nama Abu Musa, dan saya belum mendapati orang yang menulis biografinya, apalagi jamaah ulama yang meriwayatkan dari Ishaq bin Manshur tidak menyebut nama Abu Musa’.” Lihat Irwa’ Al Ghalil, op.cit, Hlm. 3/55.
[10]. Sunan Al Kubra, op.cit. hlm. 3/361.
[11]. Ibid.
[12]. Disampaikan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’, op.cit. hlm. 3/57.
[13]. Al Irwa’, op.cit. hlm. 3/57.
[14]. Sunan Ad Daraquthni, karya Imam Ad Daraquthni dengan hasyiyah kitab At Ta’liq Al Mughni ‘Ala Ad Daraquthni, karya Abu Ath Thayyib Muhamamd Al Abadi, Cetakan Ketiga, Tahun1413 H, Alam Al Kutub, Bairut, hlm. 2/3.
[15]. Sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam At Talkhish, op.cit. hlm. 2/131.
[16]. Lihat footnote At Talkhish, hlm. 2/131.
[17]. Al Irwa’, op.cit. hlm. 3/361.
[18]. Sunan Al Kubra, op.cit. hlm. 3/361.
[19]. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, op.cit. hlm. 4/349.
[20]. Al Mustadrak, hlm. 1/288.
[21]. Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, karya Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Adzim Abadi, tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, hlm. 3/279. Al Hafidz berkata,”Jika telah terbukti ia berjumpa dengan Nabi n , maka menurut pendapat yang rajah, dia adalah sahabat. Dan apabila terbukti tidak mendangar hadits langsung darinya (Nabi), maka riwayatnya dari Nabi n adalah mursal shahabi, dan menurut pendapat yang rajih, mursal shahabi dapat diterima.”
[22]. Mir’atu Al Mafatih Syarh Al Misykat Al Mashabih, karya Syaikh Ubaidilah bin Muhammad Al Mubarakfuri, Cetakan Keempat, Tahun 1415 H, Idaratul Buhuts Al Islamiyah Wad Dakwah Wal Ifta’ di Jami’at Al Salafiyah Banarest, India, hlm. 4/453.
[23]. Al Irwa’ Al Ghalil, op.cit. hlm. 3/54.
[24]. Hlm. 4/347.
[25]. Tambih Al Afham Bisyarhi Umdat Al Ahkam, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tanpa tahun, Penerbit, Kementerian Pendidikan KSA, hlm. 2/107.
[26]. Lihat Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al Bukhari, karya Al Hafidz Ibnu Hajar, tanpa tahun, Cetakan Al Maktabah Al Salafiyah, hlm. 2/353.
[27]. Lihat pembahasan ini pada Rubrik Mabhats.
[28]. Aunul Ma’bud, op.cit. hlm. 3/278.
[29]. Lihat Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Ahbar Min Ahadits Saiyidi Al Akhyar, karya Imam Asy Syaukani, Cetakan Pertama, Tahun 1415, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah Baerut, hlm. 3/240.
[30]. Lihat Asy Syarhu Al Mumti’ Ala Zaad Al Mustaqni’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H, Mu’assasah Aasam, Riyadh, KSA, hlm. 5/8.
[31]. Lihat Al Mughni, karya Ibnu Qudamah, Tahqiq, Dr. Abdullah bin Abdulmuhsin At Turki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulu. Cetakan Kedua, Tahun 1412, Penerbit Hajar, hlm. 3/217
[32]. Asy Syarh Al Mumti’, op.cit. hlm. 5/9.
[33]. Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah, Tahqiq, Dr. Muhammad Musthafa Al A’dzami, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H, Al Maktab Al Islami, Bairut, hlm. 3/111-112.
[34]. Al Mughni, op.cit. hlm. 3/216.
[35]. Majmu’ Syarh Al Muhadzab, op.cit, hlm. 4/350.
[36]. Bidayat Al Mujtahid Wa Nihayat Al Muqtashid, karya Ibnu Rusyd Al Qurthubi, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1408 H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 1/157.
[37]. Kasyaf Al Qana’ ‘An Matni Al Iqna’, karya Manshur bin Yunus Al Bahuti, Cetakan Tahun 1394 H, Mathba’ah Al Hukumah di Makkah, KSA 2/23.
[38]. Al Mughni, op.cit. hlm. 3/219.
[39]. Ibid, hlm. 3/219-220.
[40]. Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawi’at, karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Abdurrahman bin Baaz, disusun Dr. Muhammad bin Saad Asy Syuwai’ir, Cetakan Ketiga, Tahun 1423 H, Muassasah Al Haramain Al Khairiyah, Riyadh, KSA 12/333.
[41]. Lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzab, op.cit, hlm. 4/350.
[42]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Hudud
[43]. Kasyaf Al Qana’, op.cit. hlm. 2/23.
[44]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Shalat
[45]. Lihat Nailul Authar, op.cit. hlm. 3/241.
[46]. Bidayatul Mujtahid, op.cit. hlm. 1/157.
[47]. Al Mughni, op.cit. hlm, 3/220.
________
Footnote
[1]. Lihat Sunan Abu Dawud, Tahqiq, Izat Ubaid Al Da’as dan ‘Udil As Sayid, Cetakan Pertama, Tahun 1394, Dar Al Hadits, Himsh, Suria.
[2]. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam Nawawi, Tahqiq, Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun 1425 H , Dar Ihya At Turats Al Islami, hlm. 4/349.
[3]. Irwa’ Al Ghalil, op.cit. hlm. 3/54.
[4]. Ibid 3/55, dan yang ia maksudkan ialah kitab Talkhish Al Habir Fi Takhrij Ahadits Ar Rafi’i Al Kabir, karya Ibnu Hajar Al ‘Asqalani. Lihat pernyataan Ibnu Hajar di dalam At Talkhish, Tahqiq, Abu ‘Ashim Hasan bin Abas bin Quthb, Cetakan Pertama, Tahun 1416, Muassasah Al Qurthubah dan Makbatabh Al Makiyah, Makkah , KSA. hlm. 2/130 no 651.
[5]. Irsal adalah istilah terputusnya sanad di akhirnya. Disini Thariq bin Syihab dinyatakan mengirsalkan hadits ini, karena ia tidak mendengarnya langsung dari Rasulullah. Oleh Ahli Hadits, demikian ini dinamakan dengan istilah mursal shahabi.
[6]. Lihat Sunan Al Kubra, karya Al Baihaqi, Tahqiq, Muhammad Abdulqadir ‘Atha, Cetakan Pertama, Tahun 1414 H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, Hlm. 3/361.
[7]. Irwa’ Al Ghalil Fi Takhrij Ahadits Manar As Sabil, karya Syaikh Al Albani, Cetakan Kedua, Tahun 1405 H, Al Maktab Al Islami, hlm. 3/55.
[8]. Lihat Sunan Al Kubra, op.cit. hlm. 3/361.
[9]. Syaikh Al Albani berkata,”Menurut saya, penyebutan Abu Musa dalam sanad tersebut adalah syadz atau mungkar; karena Ubaid bin Muhammad Al ‘Ijli telah menyelisihi Abu Dawud dengan penyebutan
nama Abu Musa, dan saya belum mendapati orang yang menulis biografinya, apalagi jamaah ulama yang meriwayatkan dari Ishaq bin Manshur tidak menyebut nama Abu Musa’.” Lihat Irwa’ Al Ghalil, op.cit, Hlm. 3/55.
[10]. Sunan Al Kubra, op.cit. hlm. 3/361.
[11]. Ibid.
[12]. Disampaikan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’, op.cit. hlm. 3/57.
[13]. Al Irwa’, op.cit. hlm. 3/57.
[14]. Sunan Ad Daraquthni, karya Imam Ad Daraquthni dengan hasyiyah kitab At Ta’liq Al Mughni ‘Ala Ad Daraquthni, karya Abu Ath Thayyib Muhamamd Al Abadi, Cetakan Ketiga, Tahun1413 H, Alam Al Kutub, Bairut, hlm. 2/3.
[15]. Sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam At Talkhish, op.cit. hlm. 2/131.
[16]. Lihat footnote At Talkhish, hlm. 2/131.
[17]. Al Irwa’, op.cit. hlm. 3/361.
[18]. Sunan Al Kubra, op.cit. hlm. 3/361.
[19]. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, op.cit. hlm. 4/349.
[20]. Al Mustadrak, hlm. 1/288.
[21]. Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, karya Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Adzim Abadi, tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, hlm. 3/279. Al Hafidz berkata,”Jika telah terbukti ia berjumpa dengan Nabi n , maka menurut pendapat yang rajah, dia adalah sahabat. Dan apabila terbukti tidak mendangar hadits langsung darinya (Nabi), maka riwayatnya dari Nabi n adalah mursal shahabi, dan menurut pendapat yang rajih, mursal shahabi dapat diterima.”
[22]. Mir’atu Al Mafatih Syarh Al Misykat Al Mashabih, karya Syaikh Ubaidilah bin Muhammad Al Mubarakfuri, Cetakan Keempat, Tahun 1415 H, Idaratul Buhuts Al Islamiyah Wad Dakwah Wal Ifta’ di Jami’at Al Salafiyah Banarest, India, hlm. 4/453.
[23]. Al Irwa’ Al Ghalil, op.cit. hlm. 3/54.
[24]. Hlm. 4/347.
[25]. Tambih Al Afham Bisyarhi Umdat Al Ahkam, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tanpa tahun, Penerbit, Kementerian Pendidikan KSA, hlm. 2/107.
[26]. Lihat Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al Bukhari, karya Al Hafidz Ibnu Hajar, tanpa tahun, Cetakan Al Maktabah Al Salafiyah, hlm. 2/353.
[27]. Lihat pembahasan ini pada Rubrik Mabhats.
[28]. Aunul Ma’bud, op.cit. hlm. 3/278.
[29]. Lihat Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Ahbar Min Ahadits Saiyidi Al Akhyar, karya Imam Asy Syaukani, Cetakan Pertama, Tahun 1415, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah Baerut, hlm. 3/240.
[30]. Lihat Asy Syarhu Al Mumti’ Ala Zaad Al Mustaqni’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H, Mu’assasah Aasam, Riyadh, KSA, hlm. 5/8.
[31]. Lihat Al Mughni, karya Ibnu Qudamah, Tahqiq, Dr. Abdullah bin Abdulmuhsin At Turki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulu. Cetakan Kedua, Tahun 1412, Penerbit Hajar, hlm. 3/217
[32]. Asy Syarh Al Mumti’, op.cit. hlm. 5/9.
[33]. Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah, Tahqiq, Dr. Muhammad Musthafa Al A’dzami, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H, Al Maktab Al Islami, Bairut, hlm. 3/111-112.
[34]. Al Mughni, op.cit. hlm. 3/216.
[35]. Majmu’ Syarh Al Muhadzab, op.cit, hlm. 4/350.
[36]. Bidayat Al Mujtahid Wa Nihayat Al Muqtashid, karya Ibnu Rusyd Al Qurthubi, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1408 H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 1/157.
[37]. Kasyaf Al Qana’ ‘An Matni Al Iqna’, karya Manshur bin Yunus Al Bahuti, Cetakan Tahun 1394 H, Mathba’ah Al Hukumah di Makkah, KSA 2/23.
[38]. Al Mughni, op.cit. hlm. 3/219.
[39]. Ibid, hlm. 3/219-220.
[40]. Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawi’at, karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Abdurrahman bin Baaz, disusun Dr. Muhammad bin Saad Asy Syuwai’ir, Cetakan Ketiga, Tahun 1423 H, Muassasah Al Haramain Al Khairiyah, Riyadh, KSA 12/333.
[41]. Lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzab, op.cit, hlm. 4/350.
[42]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Hudud
[43]. Kasyaf Al Qana’, op.cit. hlm. 2/23.
[44]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Shalat
[45]. Lihat Nailul Authar, op.cit. hlm. 3/241.
[46]. Bidayatul Mujtahid, op.cit. hlm. 1/157.
[47]. Al Mughni, op.cit. hlm, 3/220.
Sumber :
https://almanhaj.or.id/2614-orang-yang-diwajibkan-shalat-jumat.html186002: Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat Jumat Sebanyak Tiga Kali Dengan Sengaja
Seandainya seseorang ketinggalan shalat jumat sebanyak tiga kali berturut-turut karena bergadang di malam hari, kemudian dia tenggelam dalam tidur keesokan harinya, apakah ada taubat khusus untuk dosa ini? Saya tahu bahwa terdapat hadits dalam Sunan Abu Daud dan Nasai, "Bahwa siapa yan meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali dengan sengaja, maka Allah menyegel hatinya." Bagaimana dengan keshahihan hadits ini? Saya juga pernah mendengar bahwa siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali, maka dia harus mengucapkan syahadatain lagi di hadapan orang banyak. Maknanya bahwa siapa yang meninggalkannya tiga kali berturut-turut, maka dia kafir. Apakah ini benar? Berdasarkan apa yang saya baca dan saya dengar pendapat para ulama dan penuntut ilmu, bahwa yang dimaksud 'Allah menyegel hatinya' tidak berarti maknanya bahwa dia telah murtad, keluar dari Islam, akan tetapi yang dimaksud adalah besarnya kecaman terhadap perbuatan tersebut dan dorongan untuk segera bertaubat. Apakah pendapat ini lebih shahih?
Published Date: 2015-01-18
Alhamdulillah.
Pertama:
Telah meriwayatkan, Abu Daud, no. 1052, Tirmizi, no. 500 dan Nasai, no. 1369 dari Abi Al-Ja'd radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallah alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ(وصححه الشيخ الألباني في " صحيح الجامع)
"Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali dengan meremehkannya, maka Allah tutup hatinya." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami)
Ibnu Majah, no. 1126 juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallah alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ (وحسنه الشيخ الألباني في " صحيح ابن ماجه)
"Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa kebutuhan darurat, Allah akan tutup hatinya." (Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Ibnu Majah)
Al-Manawi rahimahullah berkata, "Yang dimaksud ditutup hatinya adalah Allah tutup dan cegah hatinya dari kasih sayangnya, dan dijadikan padanya kebodohan, kering dan keras, atau menjadikan hatinya seperti hati orang munafik." (Faidhul Qadir, 6/133)
Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan membatasi tiga kali dengan berturut-turut. Dalam musnad Thayalisi dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
من ترك ثلاث جمع متواليات من غير عذر طبع الله على قلبه
"Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa uzur, maka Allah akan tutup hatinya."
Dalam hadits yang lain,
من ترك الجمعة ثلاث مرات متواليات من غير ضرورة طبع الله على قلبه (وصححه الشيخ الألباني في " صحيح الجامع)
"Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa darurat, maka Allah akan tutup hatinya." (Dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami)
Abul Hasan Mubarakfuri rahimahullah berkata, "Tiga kali Jumat" Asy-Syaukani berkata, "Kemungkinan yang dimaksud adalah meninggalkannya secara mutlak, apakah terus menerus atau terpisah-pisah, walaupun dalam setiap tahun dia meninggalkan satu kali Jumat, maka Allah akan tutup hatinya jika dia meninggalkan yang ketiga kalinya. Inilah zahir haditsnya. Kemungkinan juga maksudnya adalah tiga kali Jumat berturut-turut. Sebagaiman disebutkan dalam sebuah hadits Anas, dari Ad-Dailamy dalam musnad Al-Firdaus, karena terus menerus melakukan perbuatan dosa menunjukkan tidak adanya perhatian." Aku katakan bahwa kemungkinan makna yang kedua, "tiga kali berturut-turut" adalah yang lebih jelas, dikuatkan oleh prinsip membawa makna mutlak kepada makna terikat. Hal ini dikuatkan oleh hadits Anas yang diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan perawi yang shahih dari Ibnu Abbas, bahwa siapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali berturut-turut, maka dia telah melempar Islam ke belakang punggungnya." Mir'atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, 4/446)
Kedua:
Ditutupnya hati sebagaimana disebut dalam hadits-hadits yang telah dikutip di atas, tidak berarti bahwa pemilik hati itu menjadi kafir. Dia hanyalah berupa ancaman yang ditetapkan syariat terhadap orang muslim dan kafir.
Tirmizi, no. 3334, meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata, "
إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (حسنه الشيخ الألباني في " صحيح الترمذي)
"Sesungguhnya, jika seorang hamba melakukan satu kesalahan, akan dibuatkan satu titik hitam dalam hatinya. Jika dia cabut dengan istighfar dan taubat, maka hatinya menjadi bersih kembali. Jika dia kembali, maka semakin bertambah titik hitamnya hingga mendominasi hati. Itul Ar-Raan yang Allah sebutkan, 'Sekali-kali tidak, pada hatinya terdapat Ar-Ran atas apa yang mereka lakukan." (Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah dari Mujahid, dia berkata, "Mereka mengartikan Ar-Ran adalah sebagai penutup hati." (Fathul Bari, 8/696, berdasarkan penomoran Maktabah Syamilah)
Ibnu Qayim rahimahullah berkata, "Dosa, jika banyak, akan menutupi hati seseorang, maka dia menjadi orang yang lalai. Sebagaiman ucapan sebagian salaf tentang firman Allah Ta'ala, "Sekali-kali tidak, pada hati mereka terdapat Ar-Raan atas apa yang mereka perbuat." Dia berkata, "Itu adalah dosa di atas dosa." (Al-Jawabul Kafi, hal. 60)
Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah, "Siapa yang tidak melakukan shalat Jumat bersama kaum muslimin karena uzur syar'i, baik berupa sakit, atau lainnya, maka dia hendaknya shalat Zuhur. Demikian pula halnya jika seorang wanita shalat, hendaknya dia shalat Zuhur. Begitupula dengan musafir dan penduduk yang tinggal di pedusunan (yang tidak ada shalat Jumat), maka hendaknya mereka shalat Zuhur, sebagaimana disebutkan dalam sunah. Inilah pendapat mayoritas ulama, tidak dianggap bagi yang berpenapat menyimpang. Demikian pula bagi yang meninggalkannya dengan sengaja, hendaknya dia bertaubat kepada Alalh dan dia melakukan shalat Zuhur." (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 12/332)
Lihat jawaban soal no.7699
Wallahua'lam.
Sumber :
https://islamqa.info/id/186002
0 Response to "Hukum orang yang wajib Shalat Jum'at dan yang boleh meninggalkannya...."
Posting Komentar